Minggu, 23 Agustus 2009


Selain minimnya sosialisasi, pembebanan biaya kepada para pihak akibatkan lembaga arbitrase tak dilirik sama sekali. Konsiliator dan arbiter siap menempuh upaya hukum.

‘Keringnya’ penanganan perkara perselisihan hubungan industrial bukan hanya cerita pahit milik konsiliator. Hal yang sama juga dialami arbiter. Bahkan hingga saat ini, belum pernah ada satu kasus pun yang ditangani oleh arbiter di seluruh Indonesia.

Demikian diungkapkan Ketua Forum Komunikasi Arbiter Hubungan Industrial Indonesia (FKAHII), Ganti Saut Sianturi kepada hukumonline, Kamis (26/9). “Keberadaan kami sesuai dengan UU No 2 Tahun 2004 tentang PPHI. Tapi sampai saat ini, belum ada satu kasus pun yang kami tangani,” ujarnya via telepon.

Melihat kondisi di lapangan bahwa konsiliasi maupun arbitrase tidak pernah dimanfaatkan, Saut sampai mengatakan bahwa posisi arbiter dan konsiliator tak ubahnya sebagai pelengkap sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Menurut Saut, ada beberapa alasan selain minimnya sosialisasi oleh pemerintah yang menyebabkan arbitrase sepi peminat. Salah satunya adalah pembebanan biaya berperkara di arbitrase yang dibebankan kepada para pihak.

Tidak seperti berperkara di mediasi atau konsiliasi yang gratis biaya, berperkara di arbitrase memang harus merogoh kocek pribadi. Biaya itu timbul untuk membiayai persidangan arbitrase, pemanggilan saksi dan honor arbiter. Biaya itu harus ditanggung kedua belah pihak berdasarkan perjanjian arbitrase.

Bagi pengusaha, bisa jadi biaya ini bukan masalah berarti. “Tapi bagi pekerja biaya ini menjadi masalah. Kebanyakan mereka mengaku tidak punya uang. Lagi pula, selama ini para pihak biasanya kan tidak pernah mengeluarkan uang ketika perundingan tripartit. Tentu mereka lebih memilih yang gratis dari pada yang bayar.”

Lebih jauh Saut menuturkan, meski harus membayar, arbitrase memiliki beberapa kelebihan ketimbang mediasi maupun konsiliasi. Dari segi waktu, proses penyelesaian lewat arbitrase lebih cepat ketimbang mediasi maupun konsiliasi. “Dalam waktu 30 hari, arbiter sudah harus mengeluarkan putusan yang sifatnya final dan mengikat.”

Putusan arbiter yang bersifat final dan mengikat ini tentu lebih memberikan kepastian hukum ketimbang output dari proses mediasi atau konsiliasi yang hanya berupa anjuran tertulis. “Kalau terhadap anjuran, para pihak yang tidak suka bisa melanjutkan ke PHI, ini kan berarti mengulang proses dari awal lagi. Karena PHI tidak akan menjadikan anjuran sebagai alat bukti atau pertimbangan hukumnya.”

Aktif Jemput Bola

Dihubungi terpisah, Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Depnakertrans, Gandi Sugandi memiliki analisis berbeda mengenai penyebab ‘tak lakunya’ konsiliator dan arbiter. Salah satunya adalah ketidakmampuan konsiliator dan arbiter dalam menjalin komunikasi dan koordinasi dengan pihak sukudinas ketenagakerjaan.

“Harusnya, konsiliator dan arbiter ini tidak diam di rumah. Tapi juga proaktif dengan terus berkoordinasi dengan instansi ketenagakerjaan yang berwenang di kabupaten/kota. Sehingga kemungkinan bisa dikenal oleh para pelaku hubungan industrial,” ungkapnya kepada hukumonline, Jumat (26/9).

Lebih dari itu Gandi sependapat bahwa alasan lain yang menyebabkan arbitrase kalah populer dibanding yang lain adalah karena masalah biaya. “Di kita ini, mungkin masalah bayar-membayar belum membudaya.”

Meski tidak populer, Gandi berharap agar para pihak yang berselisih mau memakai jasa arbitrase. Alasannya demi kemudahan para pihak. “Kalau di arbiter kan mungkin dua kali sidang sudah selesai. Sementara kalau sidang di PHI mungkin minimal bisa tujuh kali sidang. Sudah begitu, putusan arbiter langsung final dan mengikat pula.”

Judicial review

Dituding tidak proaktif dan tidak berkoordinasi, arbiter jelas membantah. Saut menjelaskan bahwa dirinya sudah berulang kali menyampaikan keluhan-keluhan arbiter dalam tiap kesempatan pertemuan dengan pihak depnakertrans. Namun tidak ada tindak lanjut.

Lebih konkret Saut mengusulkan agar di Disnaker atau sudinaker disediakan meja khusus bagi para arbiter dan konsiliator. “Sekaligus bentuk sosialisasi yang riil kepada masyarakat mengenai keberadaan arbiter dan konsiliator.”

Hal senada diungkapkan konsiliator Ekalaya Halim. Ia bahkan mengklaim sudah merajut komunikasi dengan arbiter untuk menempuh upaya hukum. “Kami mungkin akan melakukan judicial review. Tapi kami masih mengumpulkan data-data. Kami hanya berharap agar tidak ada lagi pembedaan di antara mediasi, konsiliasi dan arbitrase ini.”

Tuntutan lebih keras diteriakkan arbiter Saut. Ia bahkan menantang pemerintah untuk menghapuskan saja mekanisme arbitrase. “Dari pada hanya jadi pelengkap dan pemanis saja. Lebih baik dibubarkan saja kami ini.”

Kedepan, sambung Saut, kalaupun arbitrase tetap dipertahankan, ia berharap agar tidak ada lagi pembedaan ruang lingkup penanganan perkara lagi di antara mediasi, konsiliasi dan arbitrase. “Kalau ada 4 jenis perselisihan, maka baik itu mediasi, konsiliasi atau arbitrase sama-sama berhak menangani semuanya.”

Pendapat berbeda dilontarkan Wakil Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar. Menurutnya, jenis perselisihan hak harus dikeluarkan dari kewenangan mediator, konsiliator dan arbiter. “Yang namanya hak sudah jelas. Pengusaha tidak bayar upah, ya ada sanksinya. Tidak ada tawar-menawar lagi di mediasi, arbitrase atau konsiliasi,” tandasnya. Untuk jenis perselisihan hak ini, sambung Timboel, lebih baik diserahkan kepada pengawas ketenagakerjaan.

Dengan masih banyaknya celah pada lembaga perdamaian di jalur hubungan industrial ini, maka tampaknya tidak ada pilihan lain bagi pelaku hubungan industrial, selain menghindari perselisihan dengan melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing sebagaimana mestinya.

(IHW)

1 komentar: