Selasa, 29 September 2009

lanjutan

  • Perangkat Perlindungan Konsumen

  1. BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional)
  2. Direktorat PK, Dep. Perdagangan
  3. Daftar BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen)
  4. Daftar LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat)
  5. Pengaduan konsumen struktural di lembaga pemerintah (misalnya Unit Pengaduan Konsumen BPOM : 021-426 3333, Halo Pertamina)

II.1. BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen)

Dengan berlakunya UU Perlindungan Konsumen (PK) No.8 Tahun 1999 maka konsumen Indonesia memiliki dasar yang kuat untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai konsumen khususnya dari tindakan yang tidak adil dan mau menang sendiri dari pelaku usaha.

Untuk melayani konsumen melakukan gugatan sengketa maka di tiap provinsi dibentuklah BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) yang susunan pengurusnya dibentuk oleh Gubernur masing-masing provinsi dan diresmikan oleh Menperindag. Prosedurnya cukup sederhana. Konsumen yang bersengketa dengan pelaku usaha bisa langsung datang ke BPSK Provinsi di mana mereka berada dengan membawa permohonan penyelesaian sengketa, mengisi form pengaduan dan juga berkas-berkas/dokumen yang mendukung pengaduannya. Pihak BPSK lalu akan melakukan pemanggilan pada pihak-pihak yang bersengketa guna dipertemukan dalam Prasidang. Dari Prasidang itu bisa ditentukan langkah selanjutnya apakah konsumen dan pelaku usaha masih bisa didamaikan atau harus menempuh langkah-langkah penyelesaian yang telah ditetapkan antara lain:

  1. Rekonsiliasi: usaha perdamaian antara dua pihak
  2. Mediasi: negosiasi yang dimediasi oleh BPSK
  3. Arbitrase: penyelesaian lewat sidang di mana kedua belah pihak akan memilih anngota majelis yang mewakili masing-masing pihak yang bersengketa antara lain wakil konsumen, wakil pelaku usaha dan wakil dari pemerintah.

BPSK DKI Jakarta yang terletak di Jalan KPBD No.42 Sukabumi Selatan (nama kelurahan) Jakarta Barat ini resmi beroperasi di bulan Januari 2007 menempati kantor amat sederhana di sebuah kantor milik Pemda DKI Jakarta. Sejak berdiri mereka telah menerima tidak kurang 42 perkara di antaranya 10 perkara telah diselesaiakan dengan berbagai perkara. Dengan adanya UU PK dan didukung oleh keberadaan BPSK harusnya konsumen makin sadar akan hak-haknya. UU PK telah mengatur parameter yang terlarang dilakukan oleh pelaku usaha antara lain:

  1. Barang tidak sesuai standar
  2. Info yang mengelabui konsumen
  3. Cara menjual yang merugikan
  4. Klausula Baku dari sebuah perjanjian

Sudah waktunya konsumen Indonesia bangkit memperjuangkan hak-haknya. Selama ini banyak sekali pelaku usaha yang berada di atas angin dan seringkali mengabaikan hak konsumen. Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen ini diharapkan tumbuh suatu sikap yang makin baik atas konsumen. Toh keduanya saling bergantung. Dan harus disadari kita semua adalah konsun.

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen disingkat sebagai BPSK adalah salah satu lembaga peradilan konsumen berkedudukan pada tiap Daerah Tingkat II kabupaten dan kota di seluruh Indonesia sebagaimana diatur menurut Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bertugas utama menyelesaikan persengketaan konsumen di luar lembaga pengadilan umum, BPSK beranggotakan unsur perwakilan aparatur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha atau produsen yang diangkat atau diberhentikan oleh Menteri, dalam menangani dan mengatur permasalahan konsumen, BPSK memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan keterangan dari para pihak yang bersengketa, melihat atau meminta tanda bayar, tagihan atau kuitansi, hasil test lab atau bukti-bukti lain, keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bersifat mengikat dan penyelesaian akhir bagi para pihak.

II.2. Tugas dan Wewenang

Tugas BPSK melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; memberikan konsultasi perlindungan konsumen; melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang atau pihak yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan / atau pemeriksaan; memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.

Kewenangan untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen membentuk majelis harus ganjil dan sedikit-dikitnya berjumlah anggota majelis tiga orang terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan seorang anggota, majelis ini terdiri mewakili semua unsur yaitu unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha serta dibantu oleh seorang panitera dan putusan majelis bersifat final dan mengikat

II.3. Jangka waktu

BPSK wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu duapuluh satu hari kerja setelah gugatan diterima; serta dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak menerima putusan, para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat empatbelas hari kerja sejak menerima pemberitahuan putusan kepada pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu paling lambat empatbelas hari kerja sejak menerima pemberitahuan putusan dianggap menerima putusan BPSK dan apabila setelah batas waktu ternyata putusan BPSK tidak dijalankan oleh pelaku usaha, BPSK dapat menyerahkan putusan tersebut kepada pihak penyidik dengan penggunaan Putusan Majelis BPSK sebagai bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan dengan penggunaan Putusan majelis BPSK dapat dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.

Bantahan atas putusan Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan pelaku usaha dalam waktu paling lambat duapuluh satu hari sejak diterimanya keberatan dari pelaku usaha; dan terhadap putusan Pengadilan Negeri, para pihak dalam waktu paling lambat empatbelas hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia; kemudian Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat tigapuluh hari sejak menerima permohonan kasas

Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen Butuh Progresivitas
Oleh: Al. Wisnubroto

Kalaupun putusan pengadilan akhirnya memenangkan gugatan konsumen, hasilnya tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan. Belum lagi konsumen harus bersusah payah mengikuti proses peradilan yang rumit, panjang dan melelahkan. Dalam keadaan seperti ini Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan jawaban untuk membantu konsumen dalam menuntut hak-haknya secara cepat, sederhana dan murah.

Belakangan ini muncul berbagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang menampung berbagai jenis pengaduan konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha. Sebut saja misalnya fungsi advokasi pengaduan konsumen yang dijalankan oleh LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat), BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, LOS (Lembaga Ombudsman Swasta), Badan Mediasi Perbankan, Badan Mediasi Asuransi dan lain-lain. Kehadiran lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi penyelesaian sengketa konsumen tersebut telah menjadi kebutuhan dalam sistem ekonomi global yang semakin didominasi kekuasaan korporasi.

Semakin kuatnya pusaran arus neoliberalisme yang mempengaruhi sistem perkonomian global dengan jargon-jargon “pasar bebas” --yang nampaknya netral dan fair namun kenyataannya didesain sebagai penguasaan yang kuat terhadap yang lemah -- maka negara memiliki tangung jawab memberikan proteksi pada pihak yang lemah. Dalam konteks sengketa konsumen, kehadiran BPSK yang dibentuk pemerintah, semestinya bisa menjadi bagian dari upaya perlindungan konsumen (akhir) yang lemah ketika bersengketa dengan pelaku usaha yang lebih kuat (terutama bila pelaku usaha tersebut telah berwujud sebagai korporasi yang berskala nasional maupun multinasional/transnasional).

BPSK --yang konon diadopsi dari model Small Claims Tribunal --dalam tataran konsep memiliki potensi menjadi pilihan penyelesaian sengketa konsumen yang diminati. Potensi-potesi tersebut antara lain: BPSK menjembatani antara mekanisme ADR (Alternatif Dispute Resolution) yang simpel dan fleksibel dengan mekanisme Pengadilan yang memiliki otoritas; Perpaduan ketiga unsur yang seimbang (Konsumen, Pelaku Usaha dan Pemerintah) dalam BPSK merupakan kekuatan dalam menyelaraskan konflik kepentingan; BPSK berfungsi sebagai “Quasi Pengadilan Plus” (fungsi ajudikasi dan nonadjudikasi); dan Berdasarkan konsep yuridisnya BPSK berkedudukan di setiap Kota/Kabupaten. Jadi setidaknya jika dijalankan dengan baik BPSK telah memenuhi prinsip pengelolaan lembaga penyelesaian sengketa sebagaimana telah diuraikan dalam uraian sebelumnya, sehingga diharapkan BPSK dapat memberikan pemerataan keadilan dan mengurangi beban pengadilan.

Ibarat jauh panggang dari api, dalam kenyataannya BPSK hingga kini justru semakin kehilangan pamor. Masyarakat pada umumnya lebih familiar dengan LPKSM semacam YLKI dari pada BPSK. Kekecewaan yang dialami oleh David M.L. Tobing terhadap “kemandulan” BPSK DKI Jakarta (http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20221&cl=Berita) barangkali juga mencerminkan wajah BPSK-BPSK di daerah lain. Sejumlah kendala sebagaimana disebutkan oleh Dr Susanti Adi Nugroho (Hakim Agung MARI) yakni: Pertama, kendala kelembagaan. Kedua, kendala pendanaan. Ketiga, kendala sumber daya manusia BPSK. Keempat, kendala peraturan. Kelima, kendala pembinaan dan pengawasan, dan minimnya koordinasi antaraparat penanggung jawab. Keenam, kurangnya sosialisasi dan rendahnya kesadaran hukum konsumen. Ketujuh, kurangnya respon dan pemahaman dari badan peradilan terhadap kebijakan perlindungan konsumen. Terakhir, kedelapan, kurangnya respon masyarakat terhadap UU Perlindungan Konsumen dan lembaga BPSK.[1]Kendala-kendala tersebut nampaknya yang menjadi faktor penyebab BPSK tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya.

Pemerintah sebagai institusi pembentuk BPSK rasanya kurang serius dalam pengembangan BPSK sehingga benar-benar bisa berjalan optimal. Kesan umum yang nampak baik pemerintah pusat maupun daerah lebih sibuk mengejar dan melayani investor dari pada memikirkan kepentingan publik termasuk hak-hak konsumen.

Diantara kendala-kendala yang bersifat multidimensi dalam pengelolaan BPSK, terdapat dua hal yang menjadi sumber persoalan yakni keberadaan peraturan perundang-undangan dan sumber daya manusia. Kedua persoalan tersebut saling terkait dan menyebabkan munculnya persoalan-persoalan lain yang mengakibatkan mlempemnya BPSK selama ini.

Sebagaimana diketahui bahwa aturan yang terkait dengan BPSK dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) beserta peraturan pelaksanaannnya amat terbatas, sumir, kurang jelas dan bahkan beberapa subtansinya saling bertentangan. Tunjuk saja misalnya Pasal 56 ayat (2) UUPK disebutkan bahwa putusan BPSK (yang bersifat final dan mengikat berdasarkan Pasal 54 ayat (3)UUPK) dapat mintakan upaya hukum (keberatan) ke Pengadilan Negeri. Artinya, kekuatan putusan BPSK secara yuridis masih digantungkan pada supremasi pengadilan sehingga tidak benar-benar bersifat final. Padahal dalam praktek pengajuan keberatan atas putusan BPSK di Pengadilan berlaku hukum acara perdata umum sehingga justru menambah panjang proses penyelesaian sengketa konsumen.

Aturan mengenai batas waktu setiap tahap proses penyelesaian dengan hitungan hari kerja secara normatif cukup bagus guna mendorong terwujudnya prinsip penyelesaian sengketa konsumen yang cepat, sederhana dan biaya ringan, namun pelaksanaannya dalam praktek justru bisa menjadi kendala tersendiri. Pasal 55 UUPK misalnya menyebutkan bahwa BPSK wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 hari kerja. Batas waktu tersebut bisa menjadi terlampau singkat bila pelaku usaha tidak kooperatif (sulit dipanggil atau sengaja mengulur-ulur waktu), proses mediasi yang alot karena kasusnya kompleks, atau konsumen memerlukan waktu yang relatif panjang guna mempersiapkan bukti-bukti.

Persyaratan bagi anggota BPSK yang diatur dalam Kepmenperindag RI No. 301/MPP/Kep/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat BPSK nampak lebih mengedepankan aspek formal dari pada kapasitas maupun kompetensinya. Misalnya saja persyaratan pangkat/golongan tertentu (minimal Pembina/IVa) bagi anggota BPSK dari unsur pemerintah seringkali mempersulit dalam pencarian dan perekrutan orang yang tepat. Pada umumnya pegawai pemerintah di daerah dengan golongan pangkat tersebut telah menduduki jabatan yang penting, establish dan tentunya “amat sibuk” dengan tugas dinasnya sehingga sulit terlibat aktif dan progresif di BPSK. Padahal SDM sangat penting dalam menunjang operasional dan pengembangan BPSK.

Cara berhukum yang positivistik

Sekalipun diadopsi dari model Small Claims Tribunal (SCT) yang telah berjalan efektif di negara-negara maju namun BPSK ternyata tidak serupa dengan SCT. Sebagaimana yang diketahui bahwa SCT berasal dari negara-negara yang bertradisi hukum Common Law yang memiliki cara berhukum yang amat dinamis. Sedangkan Indonesia hingga saat ini tradisi hukum modernnya masih kental dengan nuansa Civil Law yang cara berhukumnya lebih bersumber pada hukum tertulis (peraturan perundang-undangan).

BPSK nampaknya didesain dengan memadukan kedua sistem hukum tersebut, dimana model SCT diadaptasikan dengan model pengadilan dan model ADR (Alternative Dispute Resolution) “khas” Indonesia. Hal ini nampak misalnya dari konsep BPSK yang berdasarkan UUPK merupakan salah satu lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan, namun dalam proses penyelesaian perkara diatur dengan “hukum acara” yang amat prosedural layaknya hukum acara perdata di pengadilan negeri. Perpaduan tersebut juga nampak dari terminologi yang dipergunakan di BPSK, misalnya cara penyelesaian sengketa terdapat istilah: Konsiliasi, Mediasi dan Arbitrase yang dikenal dalam ADR, namun pendukung cara penyelesaian tersebut dipergunakan istilah yang dikenal dalam Pengadilan, seperti: Majelis, Panitera, Persidangan dan Putusan.

Dengan institusi lembaga penyelesaian sengketa tersebut bisa mempengaruhi sikap dan perilaku anggota BPSK yang lebih merasa sebagai “Hakim Pengadilan Konsumen” dari pada sebagai Konsiliator, Mediator ataupun Arbiter. Lebih celaka lagi bila sikap dan perilaku tersebut diikuti dengan cara berhukum yang bersifat legal-positivistik.

Mengapa cara penyelesaian sengketa konsumen di BPSK harus dihindarkan dari pendekatan hukum yang bersifat legal-positivistik? Pertama, karakteristik sengketa konsumen seringkali bersifat khas dan kompleks sehingga memerlukan cara penyelesaian yang komprehensif. Kedua, pembentukan sistem hukum yang tidak bisa dihindarkan dari pengaruh sistem ekonomi global yang bernuansa neoliberalisme dan kapitalistik, jelas tidak sesuai diterapkan secara “biasa” (business as usual) pada sengketa konsumen yang tingkat ketimpangan posisi tawarnya amat besar. Ketiga, keberadaan peraturan perundang-undangan (UUPK beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya) amat terbatas dan beberapa substansinya bermasalah.

Kekhawatiran BPSK terjebak dalam cara penyelesaian sengketa yang berpangkal pada pemahaman normatif-sempit kiranya cukup beralasan. Pengalaman empiris penulis sebagai anggota BPSK dan pengamatan dalam berinteraksi dengan anggota-anggota BPSK dalam berbagai forum telah menunjukkan adanya kecenderungan tersebut. Dalam forum komunikasi teknis BPSK se-Indonesia misalnya seringkali yang menjadi fokus pembahasan berkisar masalah kendala-kendala operasional yang bersumber dari UUPK dan peraturan pelaksanaannya. Kedudukan BPSK pada Pemerintah Kota/Kabupaten yang nota bene adalah lembaga eksekutif yang amat kental dengan budaya birokratisnya bila mempengaruhi perilaku anggota BPSK.

Wacana yang sering sekali muncul adalah adanya tuntutan terwujudnya peraturan perundang-undangan yang lengkap dan sempuna mengenai tata cara penyelesaian sengketa oleh BPSK. Dalam taraf yang parah kadang-kadang pedoman operasionalpun dipahami dan diterapkan secara ketat dan kaku melebihi hukum acara di pengadilan. Akibatnya proses penyelesaian sengketa tidak bisa menghasilkan penyelesaian yang optimal atau bahkan bisa mengalami kegagalan. Seringkali proses mediasi berujung pada putusan “sepakat untuk tidak sepakat” hanya karena terlalu kaku terhadap aturan batas waktu penyelesaian sengketa. Contoh kegagalan lainnya misalnya pengaduan konsumen ditolak hanya karena terlalu sempit dalam menafsirkan pengertian “konsumen akhir” atau terlalu sempit dalam menafsirkan domisili konsumen.

Jelaslah bahwa cara penyelesaian sengketa konsumen dengan pendekatan hukum yang legal-positivistik (bertumpu semata-mata pada sistem formal: aturan, keputusan administrasi, prosedur, birokrasi) tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Small Claims Procedures yang semestinya menjadi acuan operasionalisasi lembaga penyelesaian sengketa konsumen semacam BPSK.

Butuh Spirit Hukum Progresif

Menurut S. Sothi Rachagan (Regional Director of CI-ROAP) ada beberapa prinsip yang musti harus dipenuhi dalam pengelolaan lembaga penyelesaian sengketa konsumen: 1) Aksesibilitas yakni bagaimana mengupayakan agar lembaga penyelesaian sengketa konsumen dapat diakses seluas-luasnya oleh masyarakat. Prinsip ini meliputi elemen-elemen seperti: biaya murah, prosedur yang sederhana dan mudah, pembuktian yang fleksibel, bersifat komprehensif, mudah diakses langsung, dan tersosialisasi serta tersedia di berbagai tempat; 2) Fairness dalam arti keadilan lebih diutamakan daripada kepastian hukum sehingga sebuah lembaga penyelesaian sengketa konsumen setidaknya harus bersifat mandiri (independent) dan dapat dipertanggungjawabkan pada masyarakat (public accountability); 3) Efektif, sehingga lembaga penyelesaian sengketa harus dibatasi cakupan perkaranya (kompleksitas dan nilai klaim) dan setiap perkara yang masuk harus diproses secepat mungkin tanpa mengabaikan kualitas penanganan perkara.

Untuk dapat dijalankannya prinsip-prinsip tersebut maka cara penyelesaian sengketa dengan pendekatan hukum yang legal-positivistik harus diubah dengan pendekatan hukum yang lebih kritis, responsif atau progresif. Secara singkat paradigma hukum progresif bertumpu pada filosofi dasarnya yakni: “hukum untuk manusia” yang dimaknai bahwa sistem manusia (sikap; perilaku) berada di atas sistem formal (aturan; keputusan administratif; prosedur; birokrasi). Dengan demikian bila sistem formal tidak bisa mewujudkan cara penyelesaian konsumen yang utuh, efektif dan adil atau memuaskan para pihak, maka sistem manusia harus mampu mewujudkan sendiri.

Flexibility principle misalnya sesuai dengan penjabaran hukum progresif sebagai cara berhukum yang membebaskan dari kelaziman yang bersumber dari aturan formal maupun praktek beracara. Dengan demikian maka BPSK harus kembali diletakkan sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan sehingga mestinya tata cara atau hukum acara yang diatur dalam hukum positif tidak boleh diberlakukan secara ketat layaknya proses persidangan di pengadilan, namun harus diterapkan sebagai pedoman tata cara penyelesaian sengketa yang fleksibel.

Baik sebagai konsiliator, mediator maupun arbiter, setiap Majelis BPSK harus mampu tidak saja sebagai penerap hukum namun juga sebagai kreator hukum. Setiap aturan hukum positif (UUPK dan peraturan pelaksanaannya) harus dibaca secara utuh yakni tidak hanya sebatas teksnya saja namun harus mendalam hingga pada makna filosofinya. Contoh kasus: seorang konsumen yang berdomisili di Semarang, namun lebih banyak aktivitasnya di Yogyakarta. Aturan yang menyebutkan bahwa konsumen dapat mengajukan gugatan/pengaduan pada BPSK dimana konsumen berdomisili harus dimaknai sebagai aturan yang intinya tidak boleh merepotkan konsumen dalam mengajukan pengaduan atas sengketa dengan pelaku usaha yang dialaminya. Artinya BPSK Yogyakarta tidak boleh menolak pengaduan konsumen tersebut dengan dalih bunyi aturan hukum positifnya sesuai dengan domisili konsumen maka konsumen harus mengajukan aduannya pada BPSK Semarang.

Majelis BPSK harus mampu membuat terobosan-terobosan untuk mengatasi kebuntuan aturan tata cara penyelesaian sengketa. Untuk mengatasi batas waktu 21 hari kerja yang untuk proses persidangan kasus tertentu secara nyata memerlukan waktu yang lebih panjang, bisa saja dibuat kesepakatan (sebaiknya tertulis) antara para pihak yang bersengketa untuk tidak akan mempermasalahkan ketentuan batas waktu tersebut. Sekalipun hukum positifnya mengatakan bahwa cara penyelesaian secara konsiliasi, mediasi dan arbitrase bukan proses penyelesaian perkara secara berjenjang, namun bila terjadi kasus misalnya para pihak terlanjur memilih cara konsiliasi atau mediasi tapi setelah proses berjalan ternyata terjadi “dead lock tanpa hasil”, maka Majelis BPSK harus mampu meningkatkan cara penyelesaian dengan arbitrase.

Supaya tidak bertentangan dengan larangan penggunaan cara penyelesaian secara berjenjang, bisa saja Majelis BPSK membuat terobosan dengan tidak buru-buru menjatuhkan putusan terhadap sidang konsiliasi/mediasi yang gagal tersebut namun menawarkan pada para pihak untuk merubah cara penyelesaian sengketa (misalnya dengan cara arbitrase). Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa keadilan harus lebih diutamakan daripada kepastian.

Dalam arbitrasepun Majelis BPSK harus berperan aktif mengarahkan pada kedua belah pihak dan membuka dialog yang seluas-luasnya sehingga masing-masing pihak memahami benar duduk persoalannya dang mengerti benar bagaimana harus bertindak dalam proses persidangan. Pendekatan progresif diperlukan Majelis untuk membebaskan diri dari aturan main perwasitan yang “netral” sekalipun objektivitas dalam penilaian terhadap hal-hal yang terungkap dipersidangan tetap harus dijaga. Setidaknya diperlukan kreativitas untuk mengangkat posisi pihak konsumen yang lemah sehingga memiliki posisi tawar yang seimbang dalam “pertarungan” dengan pelaku usaha pada umumnya posisinya jauh lebih kuat.

Pertimbangan-pertimbangan maupun logika yang dipergunakan dalam penyelesaian sengketa-pun tidak semata-mata dari aspek yuridis semata. Balkan guna mencapai hasil penyelesaian yang optimal, aspek-aspek nonyuridis seperti aspek ekonomi, aspek psikologi dan aspek budaya harus lebih diutamakan.

Sekali lagi spirit progresivitas diperlukan agar majelis BPSK bukan lagi sebagai “hakim-hakiman” yang cukup puas dengan menjalankan apa bunyi peraturan perundang-undangan semata, namun lebih dari itu benar-benar mampu manjalankan peran sebagai konsiliator, mediator ataupun arbiter yang “mrantasi gawe” (handal, mampu menjalankan tugas atau menyelesaikan perkara dengan baik). Dengan demikian BPSK ke depan bisa menjadi alternatif penyelesaian sengketa konsumen yang berwibawa dan diminati.

---------------

*) Penulis adalah Pengajar Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, anggota SPHP dan mantan anggota BPSK Pemerintah Kota Yogyakarta periode 2002-2007.


[1] http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20221&cl=Berita

YLKI


Bab I

Sejarah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)

I.1. Tokoh-Tokoh Perintis Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)

Pendirian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) didasari pada perhatian atas kelangkaan produk nasional yang berkualitas dan kecenderungan memilih dan berbelanja produk impor di era tahun 70an, serta perhatian terhadap perlunya pemberdayaan bangsa dan produksi dalam negeri. Kelembagaannya disahkan melalui Akte Notaris Loemban Tobing, S.H pada tanggal 11 Mei 1973.

YLKI diprakarsai oleh figur-figur yang telah ikut berjasa dalam masa perjuangan kemerdekaan, sebagian besar diantaranya adalah para tokoh perempuan pejuang seperti Ibu Sujono Prawirabisma, Ibu SK Trimurti, Ibu Soemarno serta Ibu Lasmidjah Hardi (yang kemudian menjadi Ketua YLKI pertama).

Keterlibatan para tokoh masyarakat tersebut pada masa-masa awal berdirinya, menempatkan YLKI pada hubungan yang baik dengan Pemerintah. Keberadaan YLKI diharapkan tidak hanya dapat mendorong penggunaan produk dalam negeri di tengah maraknya keberadaan produk impor, tetapi juga dapat memperkuat posisi konsumen. Motto YLKI “Melindungi Konsumen, Menjaga Martabat Produsen dan Membantu Pemerintah” dianggap masih cukup relevan untuk kondisi saat ini, dan senantiasa menjadi rujukan bagi kegiatan YLKI sampai saat ini.

Berbeda dengan gerakan konsumen di negara-negara maju, gerakan konsumen di Indonesia tidak hanya berfokus pada kepentingan konsumen semata. Sebagai suatu negara berkembang, di mana produsen juga dianggap masih berada dalam tahap pertumbuhan, diperlukan sudut pandang yang seimbang untuk menilai kepentingan konsumen dan produsen.

Dukungan Presiden serta Gubernur Jakarta pada masa itu, merupakan pendorong bagi keterlibatan lembaga Pemerintah lainnya dalam kegiatan YLKI. YLKI bergabung dengan Organisasi Konsumen Internasional (International Organization of Consumers’ Union – IOCU) sejak 15 Maret 1974, dan telah menjadi Anggota Penuh dari organisasi yang sekarang dikenal sebagai Consumers International (CI).

I.2. Pertumbuhan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)

Pertumbuhan ekonomi nasional pada era tahun 70an sampai awal tahun 80an diwarnai dengan perkembangan yang pesat dalam sektor industri, tetapi belum disertai dengan peningkatan kualitas barang dan jasa. Dalam masa ini, YLKI memusatkan kegiatannya untuk melakukan pengawasan atas kualitas berbagai barang dan jasa yang beredar di pasaran, yang sebagian besar masih belum memenuhi standar. Berbagai masukan yang diberikan YLKI bagi para Pelaku Usaha dan Pemerintah sangat penting bagi perbaikan dan penetapan standar mutu.

Selama dekade 80an, YLKI mengembangkan kesadaran baru atas pentingnya melibatkan masyarakat secara langsung dalam upaya memperkuat jaringan, yang diperlukan bagi pelaksanaan kegiatan perlidungan konsumen. Pada periode ini YLKI mengerahkan segala upayanya untuk pembangunan jaringan, pengembangan institusi serta pemahaman ideology gerakan konsumen / konsumerisme. Selama dekade ini, kekuatan YLKI juga difokuskan untuk mendesakkan sebuah kebijakan yang strategis dan mendasar agar negeri ini mempunyai Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Pada dekade 90an, ketika Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) telah menjadi hokum positif di Indonesia, agenda terbesar YLKI adalah agar UUPK mampu menjadi produk hokum yang efektif untuk melindungi konsumen. Periode ini juga merupakan masa di mana YLKI menjalankan peranan penting dalam pengawasan atas efek negative dari pemberlakukan perdagangan bebas dalam era globalisasi, antara lain dalam menghadapi privatisasi berbagai komoditas publik yang berpotensi menjadi instrument efektif untuk mereduksi hak-hak konsumen.

I.3. Pertumbuhan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)

A. Tahun 1973

Tanggal 11 Mei 1973, Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) disahkan melalui Akte Pendirian No. 26 dari Notaris Loemban Tobing, S.H. YLK resmi menjadi lembaga perlindungan konsumen pertama di Indonesia, dengan Ibu Lasmidjah Hardi sebagai Ketua. Posisi YLK semakin kuat sesudah dikukuhkan oleh gubernur Jakarta saat itu – Bapak Ali Sadikin, tanggal 28 Juli 1973 dengan Surat Keputusan No. D.V.-b.1/37/73

B. Tahun 1974

Bulan April 1974 YLK menerbitkan majalah Warta Konsumen sebagai wadah informasi dan pendidikan bagi konsumen. Majalah bulanan ini terus bertahan hingga sekarang. YLK kemudian bergabung dengan International Organization of Consumers Union – IOCU sejak 15 Maret 1974, dan aktif sebagai full member organisasi internasional yang kini bernama Consumers International (CI), dan berpusat di London.

C. Tahun 1975

Memenuhi perannya sebagai lembaga perlindungan konsumen, YLK mendapat kesempatan dari pemerintah DKI untuk melakukan uji komparatif barang hasil industri dengan sample yang diambil dari pasar. Hasil pengujian dan penelitian diumumkan dan dipublikasikan di majalah Warta Konsumen agar dapat mejadi panduan bagi konsumen.

D. Tahun 1989

YLKI di bawah pimpinan Zumrotin KS menggagas Bulan Pengaduan untuk menjaring pengaduan konsumen secara kolektif menyangkut kasus yang bersifat masal dan tematik seperti pelayanan telepon, kesehatan, listrik, air, kereta api, bandara hingga kartu kredit. Kegiatan ini bertujuan untuk memberi umpan balik kepada pemberi layanan public

D. Tahun 1991

Erna Witoelar, ketua Pengurus Harian YLKI periode 1986-1989 diangkat menjadi Presiden IOCU dalam kongres di Hong Kong tahun 1991. Posisi tersebut dijabatnya selama dua periode hingga tahun 1997. Terpilihnya aktivis yang bergabung dengan YLKI sejak tahun 1975 ini sekaligus membuktikan pengakuan internasional terhadap YLKI

E. Tahun 1997

Tanggal 13 April 1997 menjadi tanggal bersejarah bagi YLKI karena untuk pertama kalinya YLKI mengajukan gugatan hukum untuk kepentingan publik (class action) terhadap PLN dalam kasus listrik mati se-Jawa Bali. Kendati gagal di pengadilan, kasus ini berhasil mengangkat gaung class action kepada publik.

F. Tahun 1999

Setelah turut aktif memperjuangkannya, Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen atau UUPK akhirnya disahkan pemerintah. UUPK patut diapresiasi sebagai suatu terobosan hukum, meski implementasinya masih bayak kekurangan. Bulan Februari 1999, YLKI menggalang kampanye tingkat Nasional “Sejuta Tandatangan” memprotes kenaikan tarif telepon, yang berujung pada penurunan besaran kenaikan tarif.

G. Tahun 2006

Departemen Perdagangan RI menganugerahkan Indonesian Consumers Protection Award – sebuah penghargaan khusus yang diberikan kepada YLKI sebagai pemrakarsa perlindungan konsumen di Indonesia. Penghargaan diberikan di Kuta, Bali, saat berlangsungnya “Southeast Asian Cnference on Consumers Protection 2006”.

Bab II.

Perangkat Perlindungan Konsumen

  1. BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional)
  2. Direktorat PK, Dep. Perdagangan
  3. Daftar BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen)
  4. Daftar LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat)
  5. Pengaduan konsumen struktural di lembaga pemerintah (misalnya Unit Pengaduan Konsumen BPOM : 021-426 3333, Halo Pertamina)

II.1. BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen)

Dengan berlakunya UU Perlindungan Konsumen (PK) No.8 Tahun 1999 maka konsumen Indonesia memiliki dasar yang kuat untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai konsumen khususnya dari tindakan yang tidak adil dan mau menang sendiri dari pelaku usaha.

Untuk melayani konsumen melakukan gugatan sengketa maka di tiap provinsi dibentuklah BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) yang susunan pengurusnya dibentuk oleh Gubernur masing-masing provinsi dan diresmikan oleh Menperindag. Prosedurnya cukup sederhana. Konsumen yang bersengketa dengan pelaku usaha bisa langsung datang ke BPSK Provinsi di mana mereka berada dengan membawa permohonan penyelesaian sengketa, mengisi form pengaduan dan juga berkas-berkas/dokumen yang mendukung pengaduannya. Pihak BPSK lalu akan melakukan pemanggilan pada pihak-pihak yang bersengketa guna dipertemukan dalam Prasidang. Dari Prasidang itu bisa ditentukan langkah selanjutnya apakah konsumen dan pelaku usaha masih bisa didamaikan atau harus menempuh langkah-langkah penyelesaian yang telah ditetapkan antara lain:

  1. Rekonsiliasi: usaha perdamaian antara dua pihak
  2. Mediasi: negosiasi yang dimediasi oleh BPSK
  3. Arbitrase: penyelesaian lewat sidang di mana kedua belah pihak akan memilih anngota majelis yang mewakili masing-masing pihak yang bersengketa antara lain wakil konsumen, wakil pelaku usaha dan wakil dari pemerintah.

BPSK DKI Jakarta yang terletak di Jalan KPBD No.42 Sukabumi Selatan (nama kelurahan) Jakarta Barat ini resmi beroperasi di bulan Januari 2007 menempati kantor amat sederhana di sebuah kantor milik Pemda DKI Jakarta. Sejak berdiri mereka telah menerima tidak kurang 42 perkara di antaranya 10 perkara telah diselesaiakan dengan berbagai perkara. Dengan adanya UU PK dan didukung oleh keberadaan BPSK harusnya konsumen makin sadar akan hak-haknya. UU PK telah mengatur parameter yang terlarang dilakukan oleh pelaku usaha antara lain:

  1. Barang tidak sesuai standar
  2. Info yang mengelabui konsumen
  3. Cara menjual yang merugikan
  4. Klausula Baku dari sebuah perjanjian

Sudah waktunya konsumen Indonesia bangkit memperjuangkan hak-haknya. Selama ini banyak sekali pelaku usaha yang berada di atas angin dan seringkali mengabaikan hak konsumen. Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen ini diharapkan tumbuh suatu sikap yang makin baik atas konsumen. Toh keduanya saling bergantung. Dan harus disadari kita semua adalah konsun.

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen disingkat sebagai BPSK adalah salah satu lembaga peradilan konsumen berkedudukan pada tiap Daerah Tingkat II kabupaten dan kota di seluruh Indonesia sebagaimana diatur menurut Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bertugas utama menyelesaikan persengketaan konsumen di luar lembaga pengadilan umum, BPSK beranggotakan unsur perwakilan aparatur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha atau produsen yang diangkat atau diberhentikan oleh Menteri, dalam menangani dan mengatur permasalahan konsumen, BPSK memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan keterangan dari para pihak yang bersengketa, melihat atau meminta tanda bayar, tagihan atau kuitansi, hasil test lab atau bukti-bukti lain, keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bersifat mengikat dan penyelesaian akhir bagi para pihak.

II.2. Tugas dan Wewenang

Tugas BPSK melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; memberikan konsultasi perlindungan konsumen; melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang atau pihak yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan / atau pemeriksaan; memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.

Kewenangan untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen membentuk majelis harus ganjil dan sedikit-dikitnya berjumlah anggota majelis tiga orang terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan seorang anggota, majelis ini terdiri mewakili semua unsur yaitu unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha serta dibantu oleh seorang panitera dan putusan majelis bersifat final dan mengikat

II.3. Jangka waktu

BPSK wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu duapuluh satu hari kerja setelah gugatan diterima; serta dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak menerima putusan, para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat empatbelas hari kerja sejak menerima pemberitahuan putusan kepada pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu paling lambat empatbelas hari kerja sejak menerima pemberitahuan putusan dianggap menerima putusan BPSK dan apabila setelah batas waktu ternyata putusan BPSK tidak dijalankan oleh pelaku usaha, BPSK dapat menyerahkan putusan tersebut kepada pihak penyidik dengan penggunaan Putusan Majelis BPSK sebagai bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan dengan penggunaan Putusan majelis BPSK dapat dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.